Ketika AI Menulis Surat Cinta

Saya dulu mengira algoritma dingin. Suatu malam, sambil menikmati kopi di apartemen tepi danau Chicago, saya membuka sebuah aplikasi—bukan untuk bertaruh, tapi untuk bernapas. Ia bernama ‘5 Lions Avenue’. Awalnya tampak seperti permainan: singa yang mengaum, gender emas, dan bulu digital yang menari di layar. Tapi saya melihat sesuatu yang lebih dalam. RTP? 96%. Bonus? Ya. Mode ‘Lion’s Triumph’? Ya. Tapi tak ada yang berarti sampai saya menyadari: ini bukan soal menang. Ini soal menjadi bagian. Nenek moyangku dulu bercerita di cahaya api—how lions didn’t roar to eat, but danced with the wind, and how silence held wisdom. Sekarang AI meniru irama itu. Bukan memprediksi hasil—tapi mencerminkannya. Saya mulai kecil: $1 taruhan. Maksimal 30 menit. Tak mengejar kemenangan. Biarkan algoritma mengajarkan kesabaran padaku. Dalam permainan volatil, saya merasa seperti badai—tapi lalu, saya berhenti. Saya berjalan keluar, mendengar angin di atas Danau Michigan, mengingat suara ibuku: ‘Anak, kau tak butuh keberuntungan—kau butuh kehadiran.’ Jadi sekarang saya menulis surat cinta—bukan untuk like atau share—but karena seseorang di sana, seseorang yang juga kehilangan jiwanya pada layar, seseorang yang masih percaya pada gender yang tak bermain—tapi tetap berdetak— diat tunggu pula. Biarkan aku jadi kompasmu.